ISTANBUL, ketika nama kota yang dibebaskan
oleh Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 ini disebut. Auto terbayang keindahan
dan keagungan sejarahnya yang terbentang selama ribuan tahun.
Tetapi
ketika membaca buku Istanbul – Kenangan Sebuah Kota - karya Orhan Pamuk, saya
mendapatkan perspektif lain terhadap kota ini. Serta memberikan sebuah
kesadaran, bagaimana dahsyatnya keadaan politik suatu negara menghantam wajah
dan kehidupan warga sebuah kota.
Sesuai
dengan judulnya, dalam buku yang diterjemahkan dari Istanbul: Memories of a
City ini. Orhan Pamuk bercerita tentang keadaan dirinya, keluarganya dan
terutama kota tempat tinggalnya.
Judul Buku : Istanbul (Kenangan Sebuah Kota) | Penulis
: Orhan Pamuk : Pengalihbahasa: Rahmani Astuti | Penerbit : PT. Serambi Ilmu
Semesta | Tahun Terbit: 2015, April Cetakan I | Jumlah Halaman: 563 Halaman|
Cerita Orhan.
Orhan
Pamuk terlahir dari salah satu keluarga elit Istanbul kaya raya, warisan yang ditinggalkan
oleh kakeknya mampu menghidupi mereka sekeluarga. Walaupun bisnis ayah Orhan
dan saudara-saudaranya berulangkali mengalami kegagalan.
Sebagaimana
keluarga Ustmani lainnya ia tinggal bersama ayah, ibu, kakak, paman, bibi,
nenek intinya keluarga besarnya ya. Pada sebuah apartemen yang bernama Pamuk
Apartemen di Nisantasi.
Kalau
tidak salah saya memahaminya, berdasarkan penggambaran Orhan Pamuk. Mereka
tidak umpel-umpelan hidup dalam satu ruangan, tetapi masing-masing keluarga
menempati lantai yang berbeda. Misalnya
si nenek menempati lantai 1, omnya menempati lantai dua, Orhan bersama ayah,
ibu dan abangnya menempati lantai 3.
Kebayang kan?
Orhan hidup dan besar di Istanbul, pada saat
kota itu dalam keadaan hancur dan miskin. Akibat Kesultanan Ustmani bersama
Jerman, Hungaria, dan Austria yang tergabung dalam Blok Sentral, gagal keluar
sebagai pemenang dalam perang dunia pertama.
Kekalahan
itu juga menyebabkan lepasnya sisa-sisa wilayah Kesultanan Ustmani di Timur
Tengah dan pukulan akhir bagi kekuasaannya di wilayah Balkan. Hilangnya wilayah
kekuasaan itu bukan hanya mendegradasi kekuatan politik Turki Ustmani, mereka
juga harus kehilangan pendapatan negara yang berasal dari pajak. Sehingga
menimbulkan gejolak politik dalam negeri yang berujung pada perubahan bentuk
negara dari kesultanan menjadi republik berhaluan sekuler yang diinisiasi oleh
Attaturk.
Pada
masa awal berdirinya republik pemerintah menutup teke-teke sufi,
penolakan terhadap literatur agama, revolusi aksara dan kecenderungan pada
budaya Eropa. Diikuti dengan bangkitnya Turkifisasi melalui kekerasan,
yaitu pembersihan etnis minoritas oleh negara. Sehingga Istanbul yang selama
ratusan tahun dikenal sebagai kota Kosmopolitan yang dihuni oleh berbagai suku
bangsa dan bahasa, musnah begitu saja.
Selain
bercerita tentang keadaan keluarga yang tidak bahagia, perkelahian dengan abang
tersayang, kegagalan cinta pertamanya, dan kesukaan menghitung kapal-kapal yang
melintas di Bosphorus. Orhan juga bercerita bagaimana para penulis dan pelukis
lokal maupun barat menggambarkan kota Istanbul.
Dari
setiap cerita yang terjalin dan goresan cat di atas kanvas, tergambar dengan
nyata. Kota itu dihinggapi suatu keadaan yang dalam Bahasa Turki disebut Huzun.
Sebuah istilah yang berakar dari Bahasa Arab, Huzn, yang bermakna kedukaan.
Tanpynar
seorang penulis Turki dalam tulisannya mengatakan
“Aku memandang petualangan-petualangan
di lingkungan rusak ini secara simbolis. Hanya waktu dan guncangan sejarah nan
dahsyat yang dapat memberi wajah seperti ini pada suatu lingkungan. Berapa
banyak penaklukan, berapa banyak kekalahan berapa banyak kesengsaraan yang
harus dialami penduduknya untuk menciptakan pemandangan di depan kita ini?”
(Hal 370)
Kenapa Bisa Jadi Penulis?
Walaupun
sempat dilanda kebosanan dan hampir mengibarkan bendera putih untuk
menyelesaikan memoar setebal 563 halaman ini, tapi setelah dibaca pelan-pelan
buku ini seru juga dan recommended untuk dibaca.
Kita
seperti diajak untuk mengunjungi setiap sudut kota Istanbul yang diceritakan
dengan detail, pada saat kota itu sedang tidak baik-baik saja. Tapi tetep ya Istanbul
mah geulis walaupun dalam keadaan Huzun. Ahmet Rasim bahkan mengatakan seperti
ini “Keindahan suatu tempat terletak pada
kemurungannya”
Tulisan
peraih nobel mah udah lah ya tidak usah diragukan lagi, walaupun bukan fiksi emosinya
terasa banget saat Orhan muda sering beradu argument dengan sang ibunda, karena
kegamangannya menentukan goal of life yang bertabrakan antara idealisme
dengan realitas. (Waktu itu buku Makanya Mikir karya Cania dan Abigail belum
terbit sih wkwkwkwk)
Pengalihbahasaannya juga sangat smooth dan dilengkapi juga dengan foto-foto. Walaupun gambarnya hitam putih, cukup membantu imajinasiku untuk membayangkan keadaan Kota Istanbul pada saat itu.
Selain
itu, saya penasaran banget bagaimana Orhan memutuskan untuk menjadi seorang
penulis dan akhirnya sukses meraih nobel sastra pada tahun 2006. Karena tahukah
teman-teman, penulis ini dari kecil hobi melukis dan bercita-cita ingin menjadi
menjadi pelukis. Terus kuliahnya dibidang arsitektur. Rasanya jauh banget dari
dunia tulis menulis.
Kira-kira
kenapa ya bisa jadi penulis? Apa karena dia suka melamun?




No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.