Begitupun Ketika ada seorang bookstagrammer yang dalam postingannya menasbihkan buku ini sebagai salah satu buku paling menyentuh hati. Imanku masih kokoh, bertekad untuk setia dengan buku Dari Puncak Khilafah karangan Eugene Rogan yang sedang kubaca.
Sampai suatu hari si sulung tampak menelusuri satu persatu jilid buku yang berbaris rapi di rak dari atas sampai bawah.
“Nyari buku apa Kang?” tanyaku
“Kita punya buku ini kan, Mi?” Jawabnya sambil memperlihatkan laman media sosialnya yang memajang novel Thousand Splendid Suns terbitan teranyar.
“Punya, cari aja… tumben mau baca novel” kataku sambil ikutan nyari.
“Ini terbitan lama ya?” katanya, Ketika kami berhasil menemukan novel A Thousand Splendid Suns dengan sampul bergambar dua orang perempuan, yang satu berhijab kuning dan perempuan yang lebih muda berhijab hitam sedang tertunduk lesu.
Novel A Thousand Splendid Suns punyaku memang terbitan lama, karena aku ingat betul novel ini adalah salah satu buku oleh-oleh suamiku ketika sedang mengadakan perjalanan dinas ke wilayah Pulau Jawa, saat kami masih tinggal di Kalimantan dari tahun 2003-2010.
Dia pun bercerita kalau novel ini sedang viral, banyak dibahas oleh para book lovers. Saya pun jadi penasaran ingin menyimak kembali kisah Mariam, karena setelah sekian lama kisah indah bersetting di Afganistan ini terlupakan begitu saja disudut memoriku.
Yuk, kita baca ulang aja ya teman-teman
Judul Buku : AThousand Splendid Suns | Penulis : Khaled Hosseini | Pengalih Bahasa : Berliani M. Nugrahani | Penerbit : Qanita | Tahun Terbit : 2008, April Cetakan V | Jumlah Halaman : 516
Harami
Harami adalah sebutan yang disematkan oleh masyarakat pada seorang anak yang dilahirkan dari hasil perzinahan. Anak haram yang tidak akan mendapat hak seperti yang didapatkan oleh orang lain. Keberadaan mereka dianggap aib yang harus ditutup rapat dan disingkirkan jauh-jauh oleh keluarganya demi menjaga nama baik dan kehormatan.
Karena itulah mengapa Jalil yang notabene seorang pengusaha terkenal pemilik beberapa gedung bioskop di Kota Herat, menempatkan Mariam anak hasil perselingkuhan dengan seorang pembantu rumah tangganya pada sebuah kolba – gubuk kecil berdinding bata lumpur dan adukan lumpur - di tengah padang ilalang. Alih-alih hidup di rumah mewah berlantai dua bersama sepuluh saudaranya yang lain.
Sebagai penebus dosa setiap minggu Jalil mengunjungi Mariam, pria itu senantiasa berperan sebagai ayah yang baik bagi putrinya. Ia memberikan perhatian dan kasih sayangnya dengan mengajak Mariam bercerita, bermain, memancing ikan di sungai, mengajari membuat gambar gajah dengan satu kali tarikan dll. Selain itu Jalil juga sering membawakan hadiah dan rutin mengirimkan bahan pokok yang diangkutnya sendiri, padahal ia mempunyai banyak pelayan di rumahnya.
Tidak heran Mariam begitu memuja ayahnya, pertemuan pekanan itu begitu dinantikan oleh gadis belasan tahun ini. Sehari sebelumnya ia akan berdoa agar ayahnya tidak mempunyai sebuah urusan yang dapat membatalkan kunjungannya ke kolba. (Baca sampai bagian ini, aku masih rada simpati nih sama Jalil)
Ia tidak memperdulikan cibiran ibunya yang mengatakan kasih sayang Jalil padanya sebagai harami hanyalah basa basi. Ia tidak percaya omongan perempuan itu yang mengatakan berulang kali “Kalau aku mati, kamu tidak akan punya siapa-siapa di dunia ini.”
Suatu hari Jalil bercerita kepada Mariam tentang film kartun yang diputar di bioskop miliknya. Anak itu begitu antusias dan mengajukan keinginannya untuk menonton film yang menurut ayahnya diproduksi dari ribuan gambar.
“Mariam ingin pergi ke Herat dan nonton di bioskop? Oh no, mau ditaruh dimana mukaku”
mungkin itu ya yang ada dalam pikiran Jalil wkwkwk.
Permintaan itu bukan hanya mustahil untuk dipenuhi Jalil, ibunya juga mengancam akan bunuh diri kalau Mariam nekat pergi ke Herat.
Tapi ya namanya juga anak remaja, belum sepenuhnya mengerti bagaimana dunia bekerja.
Selain itu kan ada ungkapan yang mengatakan bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Nah ibarat kata Mariam ini sedang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, jadi apapun kejelekan Jalil yang diomongin ibunya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Malah ia membayangkan akan menonton film di bioskop dengan saudara-saudaranya, sambil makan es krim. (Neng... sadar neng)
Pada hari yang telah dijanjikan, Mariam memakai pakaian terbaiknya dan menanti Jalil dengan sabar di pinggir sungai. Setelah menunggu berjam-jam, ketika tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan memperlihatkan batang hidungnya. Mariam nekat berjalan kaki ke Kota Herat.
Mariam tidak sulit untuk menemukan rumah milik ayahnya, semua orang sepertinya mengenal Jalil Khan seorang pengusaha besar. Tapi duh tisu mana tisu, sungguh teganya…teganya …teganya…anak itu tidak dibukakan pintu dan harus rela tidur di depan pintu gerbang melewati malam yang gelap dan dingin sendirian. (Sampai sini, aku sudah muak sama Jalil)
Sedihnya lagi, saat anak itu kembali ke kolba. Ibunya ditemukan sudah tidak bernyawa, tubuhnya berayun-ayun tertiup angin dengan tali menjerat lehernya. Nana merasa dikhianati oleh anaknya yang dia perjuangkan mati-matian dengan penuh derita.
Setelah kejadian ini dan merasakan bagaimana perlakuan ayah dan keluarganya, Mariam menyadari apa yang dikatakan sang ibu benar adanya. Oleh karena itu ketika ia kehilangan calon bayinya karena keguguran, Mariam sempat menganggap bahwa itu adalah hukuman yang harus ia terima karena telah mengecewakan Nana tersayang.
![]() |
Nyesek dan Bikin Hati Potek
Itu yang aku rasakan setelah membaca novel ini, lebih dari itu kalau bisa rasanya pengen marah juga sama penulisnya. Masa sampai halaman terakhir buku yang kulahap kurang dari dua hari ini, Mariam tidak ada bahagia- bahagianya sih?
Tragis banget hidupnya mulai dari dicuekin bapaknya, dibully sama saudara dan emak-emak tirinya, dipaksa harus menikah dengan laki-laki yang usianya jauh lebih tua, mengalami KDRT, dimadu, dan harus menjalani hukuman mati. (Peluk Mariam)
Tapi tenang jangan takut dulu, ceritanya tidak semuanya kelam kok. Ada juga bagian manis-manis dan gemes-gemesnya ketika menceritakan kisah cinta sepasang anak remaja Laila dan Thariq.
Lho kok Thariq dan Laila? apa hubungannya sama Mariam. (Hayo ngaku bingungkan?)
Begini teman-teman, kisah dalam novel diceritakan dalam rentang waktu sangat panjang. Dengan latar belakang gejolak politik, yang memaksa penduduk Afganistan harus hidup dalam kengerian dan dahsyatnya peperangan. Jadi timeline-nya sering dipercepat misalnya 5 tahun kemudian atau 6 bulan sesudahnya, dengan menceritakan dua sosok yang berbeda yaitu Mariam dan Laila secara bergantian. Awal-awalnya sempat bingung juga ketika menceritakan tokoh-tokoh yang seperti tiba-tiba ada. (Apa aku bacanya kurang fokus ya?)
Tapi keren sih Khaled Hosseini, mampu meramu cerita yang penuh kekerasan perang maupun KDRT dengan bahasa yang santun, begitu juga ketika ada adegan “dewasa” tidak vulgar sama sekali. Penggambaran karakter maupun suasananya juga sangat detail.
Aku tuh sampai ikut merasa mulas lho, waktu Laila akan melahirkan anak keduanya dengan operasi sesar tanpa pembiusan. Aku pun ikutan tegang ketika Mariam dan Laila akan melarikan diri ke Pakistan.
Pantes USA Today memberikan testimoni seperti ini pada halaman depannya
“ Spektakuler….membuat pedih, perut serasa diaduk, dan emosi terkoyak…”
Buku ini membawa pesan mendalam bahwa perang itu merusak segalanya. Menghancurkan setiap sendi kehidupan, menghapus mimpi dan cita-cita rakyat yang tiada berdosa.
Okh iya terjemahannya juga bagus banget, enak dibaca dan hampir tidak ada typo. Walaupun Kertasnya bukan HVS tapi punyaku tidak menguning sama sekali padahal usianya sudah sepuh wkwkwk. Buku ini friendly banget untuk dibawa-bawa, karena bodynya lumayan langsing dengan ukuran kertas A4 dan soft cover.
Ada yang bisa nebak akhir cerita dari novel ini? kira-kira sad or happy ending? Tapi yang sudah baca diem-diem bae ya....
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.