Lagi bersih-bersih galeri
tiba-tiba menemukan foto kedua anakku yang sedang berangkulan di depan Candi
Cangkuang. Keduanya kompak mengenakan kaus putih bergambar cubitus, unyu-unyu
banget dengan pipi tembemnya. MasyaAllah mereka tumbuh begitu cepat.
Ketika foto tersebut kubagikan di
WA grup keluarga. Anak-anak langsung ribut dengan komentar jailnya, dan
tiba-tiba terlontar untuk merekonstruksi foto yang diambil sembilan tahun yang
lalu itu.
Kebetulan saat itu si sulung
masih liburan semester dan si bungsu belum masuk kuliah, terus bapaknya masih
punya jatah cuti yang lumayan banyak jadi gampang ngatur waktunya. Kalau
emaknya jangan ditanya, always free apalagi buat jalan-jalan wkwkwk.
Lets Go
Jalan-Jalan ke Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terletak di
Kampung Pulo, kecamatan Leles Kabupaten Garut. Dengan berkendara dari
Tasikmalaya, kami memerlukan waktu sekitar 2 jam. Kalau dari kota Garut sendiri hanya memerlukan waktu tiga
puluh menit saja untuk sampai di lokasi.
Sekarang untuk menuju Candi
peninggalan Hindu- Budha yang diperkirakan berasal dari abad VII-VIII itu,
sangat nyaman. Terdapat ruas-ruas jalan baru yang lebar dan mulus, berbeda
dengan sembilan tahun lalu jalannya lumayan sempit dan agak berlubang. Sehingga
pada saat itu sempat khawatir tidak bisa dilewati oleh mobil type sedan,
seperti yang kami gunakan.
Tetapi ruas jalan baru itu
membuat pangling walaupun sudah menggunakan GPS, kami tetap harus bertanya agar tidak sesat di
jalan. Walaupun sempat mendapat teriakan yang tidak mengenakan dari mobil
belakang. Ah biarin aja lah yang penting selamat sampai tujuan.
Ketika sampai di lokasi, matahari
sudah meninggi mendekati jam makan siang. Perutpun mulai berbunyi minta diisi,
untungnya di area parkir banyak berjajar kedai-kedai makanan yang siap memadamkan
kelaparan. Mulai dari restoran sunda sampai restoran padang, tingggal pilih aja
sesuai selera. Jadi jangan takut kelaparan ya teman-teman kalau berkunjung ke
sini.
Mari Kita Berlayar
Inilah kekhasan Candi Cangkuang
yang memberikan pengalaman berbeda dibandingkan ketika mengunjungi candi-candi
lainnya yang ada di Indonesia. Apakah itu? untuk sampai di lokasi, pengunjung
harus berlayar menggunakan rakit yaitu alat transportasi air yang terbuat dari
bambu yang diikat. Karena Candi Cangkuang berada di pulau kecil yang
dikekelingi oleh situ atau danau alami.
Tapi tunggu dulu, sebelum naik
rakit kita harus membeli dulu tiket masuk Rp. 10.000 untuk dewasa dan Rp.5000
untuk anak-anak. Okh iya teman-teman tiket itu jangan sampai hilang ya karena
sesampainya di area candi akan ditanyakan lagi oleh petugas yang ada di sana.
Sekali berlayar menggunakan
rakit, setiap pengunjung harus membayar ongkos sebesar 15.000 rupiah per orang.
Tetapi karena sudah tidak sabar ingin segera sampai di lokasi, kami pun
memutuskan untuk mencarter rakit tersebut dengan harga 100 ribu rupiah.
Sumber Gambar : Infogarut.id |
Berlayar menggunakan rakit
sepenuhnya perhatian kita dapat difokuskan untuk menikmati pemandangan hijau
yang memanjakan mata, tanpa harus terganggu oleh suara motor yang memekakan
telinga. Hanya kecipak air yang menemani perjalanan kita, yang berasal dari
bambu yang digunakan oleh perakit untuk mendorong rakit berkafasitas 20
penumpang tersebut.
Menurut obrolan perakit dan paksu,
dulu katanya pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar Candi Cangkuang banyak di
huni oleh kelelawar. Tetapi karena banyak diburu, makhluk nokturnal itu sudah
tidak ada lagi. Duh sayang sekali.
Candi Cangkuang
Candi Cangkuang mengkuangrupakan satu- satunya candi Peninggalan agama Hindu di Jawa Barat, yang didalamnya terdapat patung Siwa Hindu dari abad ke 17. Arca tersebut terletak pada ruangan bagian dalam candi yang berukuran 2,24m x 2,18m dengan tinggi 2.55m.
Pengunjung dapat melihat arca
tersebut melalui pintu yang berukuran tinggi 1,56 meter dengan lebar 0,6 meter
yang terletak dibagian Utara. Dengan semangat, kami ramai-ramai menaiki tangga
batu untuk melihat bagian dalam candi. Tercium wangi dupa ketika kami sampai di
depan pintu yang dipasangi pagar besi yang tergembok.
Arca Siwa |
Disana nampak sebuah arca sedang
bersila di atas padmasana ganda, kaki kanannya menghadap ke bawah yang
beralaskan lapik dan kaki kirinya menyiku datar dimana telapak kaki masuk ke
dalam paha kanan.
Pada bagian depan kaki kiri arca
terdapat kepala nandi (seekor sapi dalam mitologi Hindu) yang telinganya
menghadap kebagian depan. Karena keberadaan kepala nandi di depan arca itulah,
para peneliti menyimpulkan bahwa Candi Cangkuang adalah candi Hindu yang
beraliran Siwa.
Walaupun tengah hari, suasana di
sekitar Cangkuang sangat menenangkan udaranya sangat sejuk. Tidak heran sih
karena Candi Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat yaitu
Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Guntur, dan Gunung Mandalawangi.
Kampung Pulo
Kampung Pulo merupakan kampung
kecil yang berada dalam kompleks Candi Cangkuang. Kampung ini terdiri dari enam
rumah yang letaknya saling berhadapan, tiga di kanan dan tiga dikiri, serta
sebuah mushola.
Rumah yang berada di Kampung Pulo
merupakan simbol dari jumlah anak yang dimiliki oleh Mbah Dalem Arief Muhammad,
yaitu enam orang perempuan dan satu orang laki-laki. Oleh karena itu terdapat
ketentuan adat jumlah rumah di sana tidak boleh bertambah atau dikurangi.
Jika anak-anak sudah besar dan menikah, mereka hanya bisa berdiam di
rumah orang tuanya paling lama sekitar dua minggu. Setelah itu harus
meninggalkan Kampung Pulo dan dapat kembali ke sana apabila orang tuanya telah
meninggal. Namun yang dapat mewarisi rumah di kampung adat itu adalah anak
perempuan sebagai penerus keturunan Mbah Dalem Arief Muhammad, yang ditentukan
oleh pemilihan keluarga setempat. Karena satu-satunya anak laki-laki yang
dimiliki oleh pendiri Kampung Cangkuang itu meninggal saat mau disunat yang
disimbolkan dengan mushola.
Masjid Kampung Pulo |
Lambang Toleransi
MasyaAllah luar biasa, masyarakat
Nusantara sejak dahulu sudah mengenal toleransi dengan baik. Bukti nyata itu
tergambar dengan jelas di Candi Cangkung.
Sekitar tiga meter sebelah
Selatan candi terdapat makam yang diduga milik pendiri Desa Cangkuang, yaitu
Arief Muhammad atau biasa dikenal Embah Dalem Arief Muhammad atau Maulana Ifdil
Hanafi.
Arief Muhammad adalah panglima
perang Kerajaan Mataram yang berhasil meloloskan diri ke pedalaman hingga
mencapai Kampung Cangkuang. Ketika misi kerajaan Mataram untuk mengusir Belanda
dari tanah Batavia, mengalami kegagalan untuk yang kedua kalinya.
Pada saat itu masyarakat di kampung
yang namanya diambil dari pohon Cangkuang
(Pandanus Furcatus) yang banyak tumbuh subur di daerah itu, masih menganut
aliran kepercayaan animisme, dinamisme dan sebagian ada juga yang menganut
agama Hindu.
Prajurit Mataram yang dipimpin
oleh Arief Muhammad berprilaku sangat sopan dan ramah sehingga mudah diterima
oleh masyarakat setempat. Setelah tinggal beberapa lama Arief Muhammad dan
teman-temannya berniat untuk menyebarkan agama Islam.
Makam Mbah Dalem Arief Muhammad |
Sebagai bentuk toleransi, Arief Muhammad berdakwah pada saat warga sekitar ketika tidak sedang menyembah Dewa Siwa. Untuk memperkokoh dakwahnya Mbah Dalem Arief Muhammad pun membangun sebuah masjid sederhana. Masjid itu sampai sekarang masih ada, kami pun ikut shalat duhur disana.
Bukti autentik bahwa Kampung
Cangkuang merupakan pusat penyebaran agama Islam oleh Arief Muhammad dapat
pengunjung saksikan di museum kecil yang berada tidak jauh dari makam keramat.
Disana terdapat naskah Al-Quran dari abad XVII yang terbuat dari daluang atau
kertas tradisional dari batang pohon Saeh. Selain itu, juga terdapat naskah
khotbah Idul Fitri masih dari abad XVII sepanjang 167 cm tentang keutamaan
puasa dan zakat fitrah.
Tempat Wudu |
Tampil Beda
Dibandingkan dengan kunjunganku
sembilan tahun yang lalu, kawasan Candi Cangkuang sekarang tertata lebih rapih.
Ada beberapa fasilitas baru yang dibangun yaitu taman yang dilapisi rumput
sintetis pengunjung bersantai sambil leyeh-leyeh.
Toiletnya juga bersih banget,
dengan bangunan moderen mirip kayak toilet-toilet di mall. Okh iya ada juga
wisata menara pandang. Untuk sampai ke menara pandang pengunjung harus membayar
tiket lima ribu rupiah dan melewati jalan setapak yang terbuat dari kayu yang
terbentang di tengah hijaunya sawah. Terdapat juga spot foto kece yang sayang
banget kalau tidak dicoba.
Gimana seru kan teman-teman?
Sumber :
1. Jurnal Bahasa, Sastra, Budaya
dan Pengjarannya (Prostasis) yang berjudul Asal Usul Candi Cangkuang : Analisis
Budaya dan Pendidikan oleh Fatimah Azzahra.
2. Jurnal Institut Seni Budaya
Indonesia (ISBI) Bandung yang berjudul Folklor Candi Cangkuang : Destinasi Wisata
Berbasis Budaya, Sejarah dan Religi oleh Rustiyanti
Jadi kebawa ke Candi Cangkuang juga ni habis baca artikel, Mbak. Membayangkan ke candinya harus lewat jalur air dulu, asyiiik sepertinya
ReplyDeleteSuka banget kalau fasilitas umum yang ada di area wisata sejarah diperharikan seperti yang ada di Candi Cangkuang ini. Biar makin banyak yang berminat untuk berkunjung.
ReplyDeleteWah, saya baru dengar tentang Candi Cangkuang ini Mbak. Seru juga ya begitu tahu bagaimana perjalanan ke sana harus ditempuh melewati air juga. Sejarah di belakangnya pun menarik ya, termasuk bagaimana toleransi yang terbangun antara Mbah Arief Muhammad beserta pasukannya dengan warga di sana pada masanya.
ReplyDeleteDuh...udah lamaaa banget loh dulu pernah berkunjung ke Candi Cangkuang. Dulu danaunya penuh enceng gondok. Tampaknya sekarang udah bersih yah... Kampung Pulo tetap lestari yah. Apalagi sekarang lebih bersih ada toilet umum.
ReplyDeleteHaha...kok lucu sih bisa bikin foto rekonstruksi gitu. Hampir 10 tahun yah... Keren-keren. Nanti diulang lagi beberapa tahun ke depan...
Medannya seru sekali ya..bisa bertualang dengan banyak sekali peninggalan sejarah
ReplyDeleteKayaknya seru, jadi pingin mampir ke Garut dan pingin tahu gimana rasanya menjelajahi waktu dengan mengunjungi Candi Cangkuang ini soalnya aku suka hal-hal yang berbau sejarah bahkan dulu pernah bercita-cita kuliah jurusan Antropologi atau Arkeologi.
ReplyDeleteTernyata di Jabar masih ada peninggalam Candi ya? Kirain cuma daerah Jateng-Jatim yang ada. Next kalau kesana bisa nih ke Candi Cangkuang
ReplyDeleteDari foto lama, membangkitkan kenangan yang indah pada masanya yaa..
ReplyDeleteDan bisa menjadi konten di blogpost yang informatif.
Aku juga baru tau nih tentang Candi Cangkuang yang ada di Kerajaan Mataram yang dulu pernah berjaya pada masanya.
Candi peninggalan masa2 HIndu tuh tersebar banyak ya ternyata, di Garut pun ada.
ReplyDeleteLucu tuh ide untuk rekonstruksi foto lagi, ada foto masa kecil ada foto sekarang. Udah jadi bujang ganteng semua putra2nya ya mbak.
jalan-jalan dan berfoto memang jadi kenangan yang menyenangkan ya, apalagi kalo disandingkan antar waktu kaya anak-anak tadi, berkesan banget.. mana tempat jalan-jalannya juga seru
ReplyDelete