-->
  • Taman Nasional : Sebuah Strategi Jitu Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia



    A. Indonesia Sebagai Negara Pemilik Megabiodiversity

    Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan kekayaan sumberdaya hayati terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo. Letak wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah atau sering disebut sebagai mega biodiversity (Malik et al., 2021). 

    Kekayaan ini tersimpan di dalam hutan hujan tropis yang membentang luas dari mulai ujung barat, Sabang, sampai dengan ujung timur, Merauke. Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis binatang menyusui (mamalia); 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17 persen (1.531 jenis) dari total jenis burung di dunia; 270 jenis amfibi; 2.827 jenis ikan serta 47 jenis ekosistem. Indonesia juga merupakan salah satu Vavilov Centre yaitu pusat distribusi keanekaragaman genetik tanaman terluas di dunia (Dunggio & Gunawan, 2009; Negara, 2011). 

    Selain itu, walaupun luas wilayah Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia, Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap keanekaragaman tumbuhan dunia, terutama dari famili Dipterocarpaceae (238 spesies) yang mencakup 34 persen Dipterocarpaceae dunia, 2.197 spesies paku (21 persen dari seluruh spesies paku dunia), sekitar 5.500 spesies anggrek (20,5 persen anggrek dunia), 477 spesies Palem (20 persen palem dunia), 159 spesies bambu (13 persen bambu dunia), dan 723 spesies Lichen/Lumut Kerak (8% Lichen dunia) (Widyatmoko, 2019).

    B. Kerusakan Hutan di Indonesia

    Akan tetapi, hutan hujan tropis sebagai habitat utama sebagian besar jenis tanaman dunia (mega biodiversity) di Indonesia mengalami kerusakan yang sangat memprihatinkan (Putri & Allo, 2009). Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan di Indonesia pada Tahun 2019 mencapai 1,47 hektar hutan per tahun (Sarnapi, 2020). 

    Kerusakan hutan sebagai habitat tanaman merupakan ancaman terbesar keanekaragaman hayati selain pemanfaatan yang berlebihan atau illegal terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Sumberdaya alam hayati mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) walaupun mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable) apabila pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan secara berlebihan sampai pada tingkat yang melampaui kemampuannya (Samedi, 2021).

    C. Penyebab Utama Kepunahan Biodiversitas 

    Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia mengalami ancaman kepunahan yang semakin serius akibat dari terjadinya kerusakan hutan dan pemanfaatan yang berlebihan atau illegal tersebut (Medrizam et al., 2004). Menurut data yang disampaikan Widyatmoko (2019) terdapat 437 spesies tanaman telah terancam kepunahan dan lebih dari 600 spesies berada pada kategori hampir terancam (near threatened). Kondisi ini memposisikan Indonesia sebagai salah satu target priotitas program konservasi keanekaragaman hayati dunia.

    Pada dasarnya, kerusakan hutan yang dialami sampai saat ini bersumber dari cara pandang manusia dalam memahami hubungan timbal balik antara manusia, hewan, tumbuhan, dan ekosistem secara keseluruhan. Cara pandang antropocentrism yang cenderung menjadikan indikator ekonomi sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan dituduh sebagai sumber permasalahan kerusakan lingkungan saat ini. 

    Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, penggagas gerakan deep ecology, mengemukakan bahwa krisis lingkungan yang melanda dunia hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar. Manusia harus beralih dari cara pandang anthropocentrism menuju cara pandang ecosentrism. Cara pandang ecosentrism mencoba untuk membangkitkan kembali kesadaran manusia untuk mengakui ketergantungan/keterikatan hidupnya terhadap tumbuhan, hewan, dan benda-benda abiotik di alam semesta ini (Azzahra, 2008).

    Perbedaan cara pandang anthropocentrism dan ecocentrism dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi sumber perdebatan para pemangku kepentingan dalam menetapkan program/kebijakan pengelolaan hutan di seluruh dunia. Kedua cara pandang ini diibaratkan sebagai dua buah kutub yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya. 

    Kelompok yang menganut paham antropocentrism sering menganggap paham ecosentrism merupakan penghambat pembangunan. Sebaliknya kelompok penganut paham ecosentrism menganggap pembangunan menjadi ancaman penyelamatan lingkungan (Azzahra, 2008). Terlepas dari pertentangan yang terjadi, kedua paham ini dipastikan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

    C. Penetapan Taman Nasional: Usaha Tepat Konservasi Biodiversitas

    Langkah moderat yang menempatkan kedua pemahaman (antropocentrism dan ecosentrism) sebagai dasar pengelolaan sumberdaya alam merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan di Indonesia. Konsep penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu strategi utama dalam melakukan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia (Prabowo et al., 2010). 

    Konsep ini merupakan salah satu contoh penggunaan cara pandang moderat yang memberikan perhatian kepada seluruh aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial, dan ekologi). Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional yang terdiri dari zona inti, rimba, pemanfaatan, dan tradisional.

    UU No 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Pengelolaan taman nasional menggunakan sistem zonasi ditujukan untuk mengatur keruangan di dalam kawasan taman nasional (Dunggio & Gunawan, 2009).

    Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi serta berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 

    Zona inti diperuntukan bagi perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penunjang budidaya (Adiprasetyo, 2010). Zona ini mutlak ditujukan untuk kepentingan aspek lingkungan atau ekologi.

    Zona rimba merupakan kawasan dalam taman nasional yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari berbagai jenis satwa liar, memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan, dan merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran. 

    Adapun zona rimba diperuntukan bagi kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti (Adiprasetyo, 2010). Zona rimba masih didominasi oleh kepentingan aspek ekologi.

    Zona pemanfaatan merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Peruntukkan zona pemanfaatan adalah untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya (Adiprasetyo, 2010). Zona pemanfaatan merupakan zona yang mulai mengakomodir pengelolaan aspek ekonomi (dominan) dan sosial masyarakat.

    Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona tradisional diperuntukan bagi pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Adiprasetyo, 2010). Zona ini merupakan wilayah taman nasional yang lebih menonjolkan pengelolaan pada aspek sosial dibandingkan kedua aspek yang lainnya.

    Penetapan taman nasional sebagai usaha konservasi sudah tepat dilakukan oleh pemerintah dan memiliki kesesuaian dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang sedang diwujudkan sekarang ini (Widiaryanto, 2020). Kebijakan penetapan taman nasional dengan sistem pengelolaan berdasarkan zonasi merupakan salah satu bentuk penerapan sistem pembangunan berkelanjutan yang bertumpu kepada tiga pilar utamanya yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan (Alikodra, 2002).

    Taman Nasional merupakan aset berharga yang ditetapkan pemerintah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Taman Nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu (Moeliono et al., 2010; Mountain, 2019; Narsuka et al., 2016). 

    Selain memiliki fungsi pengawetan (preservasi), perlindungan (proteksi) dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, taman nasional juga memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian daerah maupun nasional melalui beragam manfaat jasa lingkungan yang disediakannya. 

    Selain itu, taman nasional juga memiliki manfaat sosial dalam perlindungan sistem hidrologi, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati. Manfaat ini sering disebut sebagai manfaat sosial karena memberikan manfaat kepada individu-individu atau masyarakat secara luas tetapi sering tidak disadari manfaatnya karena tidak terukur secara moneter dan selama ini manfaat tersebut diperoleh secara gratis (Adiprasetyo, 2010; Hartono, 2008).

     

    DAFTAR PUSTAKA

     

    Adiprasetyo, T. (2010). Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Institut Pertanian Bogor.

    Alikodra, H. S. (2002). Konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Gunung Halimun bagi pembangunan daerah terlanjutkan. Berita Biologi, 6(1), 12–14. https://doi.org/10.47655/dialog.v44i1.470

    Azzahra, S. S. (2008). Ecocentrim dalam pengelolaan taman nasional.

    Dunggio, I., & Gunawan, H. (2009). An overview on the history of national park management policy in Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1), 43–56.

    Hartono. (2008). Taman nasional mandiri, telaah singkat kemungkinan pembentukannya.

    Malik, A. A., Prayudha S, J., Anggreany, R., Sari, M. W., & Walid, A. (2021). Keanekaragaman Hayati Flora Dan Fauna Di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Tnbbs) Resort Merpas Bintuhan Kabupaten Kaur. DIKSAINS : Jurnal Ilmiah Pendidikan Sains, 1(1), 35–42. https://doi.org/10.33369/diksains.v1i1.14702

    Medrizam, Pratiwi, S., & Wardiyono. (2004). Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati Di Indonesia: Instrumen Penilaian dan Pemindaian Indikatif/Cepat Bagi Pengambil Kebijakan (D. M. M. Riyadi (ed.); 1st ed.). Bappenas.

    Moeliono, Limberg, Minnigh, Mulyana, Indriatmoko, Utomo, Saparuddin, Hamzah, Iwan, & Purwanto. (2010). Meretas kebuntuan: konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia (Moeliono & Limberg (eds.); 1st ed.). CIFOR. https://doi.org/10.17528/cifor/003109

    Mountain, P. L. (2019). Analisis potensi pembentukan taman nasional gunung lawu analysis of the potential for the establishment of the national park lawu mountain. Bina Hukum Lingkungan, 4(1), 41–60.

    Narsuka, D. R., Setiawan, B., & Cangkringan, K. (2016). Analisis Gerakan Massa untuk Evaluasi Kerusakan Saluran Induk Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. Majalah Geografi Indonesia, 23(2), 90–108. https://doi.org/10.22146/mgi.13329

    Negara, P. D. (2011). Rekontruksi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi berbasis kearifan lokal sebagai kontribusi menuju pengelolaan sumber daya alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi, IV(2), 91–138.

    Prabowo, S. A., Basuni, S., Suharjito, D., Pascasarjana, S., & Bogor, I. P. (2010). Konflik Tanpa Henti : Permukiman dalam Kawasan Taman Nasional Halimun Salak Enduring Conflict : Settlement in Halimun-Salak National Park Area Hasil dan Pembahasan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, XVI(3), 137–142.

    Putri, I., & Allo, M. K. (2009). Biodiversity degradation of Rawa Aopa Watumohai National Park. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, VI(2), 169–194.

    Samedi. (2021). Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Indonesia: Rekomendasi Perbaikan Undang-Undang Konservasi. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 2(2), 1–28. https://doi.org/10.38011/jhli.v2i2.23

    Sarnapi. (2020). Kerusakan hutan Indonesia 1,47 juta hektar per tahun. https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01345044/kerusakan-hutan-indonesia-147-juta-hektare-per-tahun

    Widiaryanto, P. (2020). Peran Taman Nasional bagi Pembangunan Nasional Era New Normal. Bappenas Working Papers, 3(2), 184–198. https://doi.org/10.47266/bwp.v3i2.77

    Widyatmoko, D. (2019). Strategi dan Inovasi Konservasi Tumbuhan Indonesia Untuk Pemanfaatan Secara Berkelanjutan. Seminar Nasional Pendidikan Biologi Dan Saintek (SNPBS) Ke-IV, 2527-533X(1), 1–22.

     

  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment

    Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.