-->
  • Covid-19 : Big Mistake

    Big Mistake Covid-19

    Pagi yang cerah, langit biru tersapu awan putih ringan laksana kapas ditaburi bubuk berkilau. Matahari mengirimkan kehangatannya bagi penduduk bumi, menguapkan titik embun yang bergelayut di ujung daun.

    Hari yang baru, semua makhluk bertebaran di muka bumi untuk memulai rutinas keseharian. Begitupun dengan penghuni rumah Blok Z no 456 di sebuah komplek perumahan sederhana, Warna Asih. Pagi itu, Sari sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya.

    Iwan baru selesai mandi, Ia segera mengenakan kemeja kuning dengan logo perusahaan berwarna merah di atas saku sebelah kiri dan celana biru dongker sambil bersiul-siul. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah supermarket besar di kotanya.

    Dina dan Doni, buah hati pasangan Sari dan Iwan, asyik bermain di depan tv yang sedang menayangkan berita tentang serangan wabah Covid-19 yang semakin meluas di berbagai wilayah Indonesia. Ruangan itu terlihat bertambah sempit dengan berbagai mainan yang berserakan di setiap sudut ruangan.

    Tepat pukul 6.30. Iwan sudah siap berangkat ke tempat kerjanya. Sebelum menghidupkan mesin motor, Ia berpesan kepada istrinya untuk selalu mengenakan masker ketika terpaksa ke luar rumah dan mencuci semua barang yang dibeli termasuk uang kembalian apabila habis berbelanja. Iwan juga berpesan kepada si kembar kesayangannya untuk bermain di rumah saja.

    -oo0oo-

    Sejak merebaknya wabah, pengunjung supermarket, tempat Iwan bekerja, cenderung sepi. Masyarakat lebih memilih tinggal di rumah sesuai dengan anjuran pemerintah.

    “Wan… siang ini akan ada kunjungan gugus covid ke sini”, kata Januar.

    “Mau apa mereka ke sini?” kata Iwan sambil mengeringkan wajahnya setelah berwudhu.

    “Mereka mau melaksanakan swab test.”

    “Semua karyawan di tes?” tanya Iwan.

    “Enggak… mereka hanya akan mengambil sampel beberapa karyawan saja,” terang Januar.

    “Semoga karyawan di sini tidak ada yang positif ya,” kata Iwan sambil menatap parkiran yang kosong. Jantungnya berdebar halus menyebarkan gelombang ketakutan ke seluruh tubuhnya. Dia berusaha melawan rasa takut itu dengan meyakinkan diri bahwa selama ini dia selalu ketat melaksakan protokol kesehatan baik di rumah maupun di tempat kerjanya.

    “Tong sieun Wan nanti imun kamu turun,” kata Januar.

    “Saha nu sieun? Yu ah… sholat dzuhurnya sudah mau dimulai,” ajak Iwan.

    -oo0oo-

    Semua karyawan yang dijadikan sampel menunggu hasil tes dengan gelisah. Iwan sampai tidak bisa tidur dan kehilangan selera makan. Akhirnya, setelah menunggu satu pekan, hari pengumumanpun tiba. Iwan menerima amplop putih berukuran C6 bertuliskan Dinas Kesehatan.

    Setengah tidak percaya, Iwan membaca hasil tesnya dengan tangan bergetar. Ternyata apa yang ditakutinya selama ini menjadi kenyataan. Dia dinyatakan POSITIF mengidap COVID 19. Petugas segera menjemput dan mengisolasi Iwan di rumah sakit umum tanpa diperkenankan pulang terlebih dahulu untuk memberitahu keluarganya. Kabar terjangkitnya Iwan oleh virus mematikan itu dengan cepat merebak. Hal ini bukan hanya mengguncang keluarganya tetapi juga berdampak pada penutupan tempatnya bekerja dan pelaksanaan swab test massal untuk seluruh karyawan supermarket dan warga perumahannya.

    -oo0oo-

    “Bu… kapan ayah pulang?” tanya Dina.

    “Iya Bu… sebentar lagi kan lebaran,” sahut Doni.

    “Kita berdoa saja semoga ayah bisa pulang sebelum lebaran sehingga kita bisa berkumpul,” kata Sari membesarkan hati anak-anaknya.

    “Bu… kita ke rumah Nenek aja yu,” kata Dina.

    “Enggak boleh sayang… Kita kan lagi diisolasi mandiri.”

    “Kenapa sih semua orang jadi jahat sama kita? Mereka melarang kita keluar rumah dan membawa ayah begitu saja,” kata Doni berlinang air mata.

    “Kita juga enggak boleh menjenguk ayah ke rumah sakit… sebenarnya ayah sakit apa Bu?” teriak Dina.

    Sari hanya bisa mengelus dada ketika mendengar keluh kesah anak-anaknya. Ia paham anak-anak pasti bosan dan tersiksa harus terkurung di dalam rumah sepanjang hari. Selain itu, yang paling menyakitkan dari semua ini adalah sikap tetangga yang seakan mengucilkan dan menjadikan keluarga mereka sebagai objek tontonan dan cemoohan.

    Sementara itu, sampai hari ke lima menjalani isolasi di rumah sakit, Iwan merasa tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Dia tidak sesak napas, demam, maupun batuk kering seperti umumnya yang diderita oleh pasien Covid-19. Diapun tidak dipasang ventilator atau perawatan intensif lainnya. Kondisinya berbeda ketika ia mengalami syok berat di hari pertama karena maut serasa hanya berjarak seujung kuku.

    Setiap hari, Iwan hanya diperiksa darah, berolahraga ringan, berjemur setiap pagi untuk memperoleh pasokan vitamin D yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh, mengkonsumsi makanan bergizi, dan meminum aneka jus buah. Selain beribadah, Iwan mengisi hari-harinya dengan menonton film dan membaca buku yang disediakan pihak rumah sakit. Pernah suatu hari, dia mengatakan kepada anak dan istri kalau dirinya sedang berlibur gratis dibiayai pemerintah.

    Hal yang paling menyiksa perasaan Iwan selama menjalani isolasi ini adalah harus terpisah dengan isteri dan anak-anaknya. Kebersamaan dengan keluarga tidak tergantikan hanya dengan berkomunikasi melalui video call yang selama ini dilakukannya..

    -oo0oo-

    “Selamat ulang tahun Pak Iwan… semoga lekas sembuh ya Pak…” kata perawat yang tubuhnya rapat terbungkus Alat Pelindung Diri (APD) ketika mengantarkan makan siang.

    “Siapa yang ulang tahun Bu?” tanya Iwan heran.

    “Lho… bukannya hari ini ulang tahun Bapak?” kata perawat itu tidak kalah heran.

    “Enggak Bu… ulang tahun Saya sudah lewat.”

    “Yang benar Pak?”

    “Iya… mungkin bukan Saya Bu!!!… maklum namanya pasaran,” kata Iwan sambil tertawa lepas.

    “Tapi di sini tidak ada lagi pasien yang bernama Iwan Setiawan selain Bapak,” kata perawat itu sambil bergegas meninggalkan Iwan dengan langkah lebar.

    Tidak lama, dua orang petugas rumah sakit mendatangi ruangan Iwan dengan tergesa-gesa sambil membawa beberapa dokumen.

    “Maaf Pak… ini hasil lab Bapak kan?” Tanya petugas.

    “Coba Bapak periksa lagi, apakah biodatanya sesuai?”

    “Ini bukan punya saya Bu... tanggal lahirnya tertulis 25 April 1995”, kata Iwan.

    Kedua petugas itu kaget dan saling berpandangan.

    “Kalau yang ini?”

    Iwan menerima kertas itu dengan tangan gemetar,. Ia mencium sebuah kesalahan telah terjadi di sini.

    “Nah… ini baru punya Saya… lihat tanggal lahirnya 24 Januari 1995, bukan itu saja alamatnya juga beda,” kata Iwan sambil menunjuk-nunjuk.

    “Kalau begitu Kami mohon maaf, kelihatannya data hasil swab test Bapak tertukar dengan Iwan Setiawan dari kabupaten lain, yang hari ini meninggal akibat wabah ini,” kata petugas itu serius.

    Iwan tidak tahu harus marah atau senang mendengar penjelasan itu, berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Dia ingin memaki petugas itu karena telah memisahkannya dengan keluarga dan merasakan ketakutan yang luar biasa. Akan tetapi, Iwan memaknainya sebagai jawaban doa yang dipanjatkannya setiap hari kepada Allah agar secepatnya dapat berkumpul dengan keluarga.
  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment

    Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.